TENTANG ATP

Berita

Kontroversi Trans7 dan Kekeliruan Memahami Budaya Pesantren: Saatnya Media Belajar dari Santri

Oleh:
Khusnul Arifin,
Mahasiswa Magister Teknologi Informasi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Keyword:
Trans7, pesantren, budaya santri, Islam, media dan etika, boikot Trans7, komunikasi budaya, literasi media Islam, santri digital, UIN Malang

Pendahuluan: Ketika Media Salah Tangkap Budaya Pesantren

Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia digemparkan oleh kontroversi tayangan di salah satu program televisi nasional, Trans7, yang dianggap menyinggung kehidupan pesantren dan para santri. Potongan video acara tersebut viral di berbagai platform media sosial dan memicu gelombang protes luas. Tayangan itu dinilai tidak hanya keliru secara etis, tetapi juga mengandung stereotip negatif terhadap kalangan pesantren.

Tidak butuh waktu lama, tagar #BoikotTrans7 pun trending di X (Twitter) dan menjadi perbincangan nasional. Banyak warganet, khususnya para santri dan alumni pesantren, menilai bahwa tayangan tersebut bukan sekadar hiburan yang gagal lucu, melainkan penghinaan terhadap institusi pendidikan Islam yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.

Tulisan ini mencoba menganalisis secara mendalam kesalahan perspektif Trans7 dalam memahami budaya pesantren — menggunakan pendekatan sains sosial, komunikasi budaya, dan nilai-nilai Islam — agar publik dapat melihat persoalan ini bukan hanya dari sisi emosional, tetapi juga secara akademik dan objektif.

Pesantren: Lebih dari Sekadar Tempat Belajar Agama

Bagi masyarakat Indonesia, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan sistem sosial dan budaya yang hidup. Pesantren membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam akhlak, spiritualitas, dan pengabdian sosial.

Dalam terminologi budaya, pesantren dapat disebut sebagai komunitas moral (moral community). Hubungan antarwarganya diikat oleh nilai keikhlasan, hormat kepada guru (kiai), dan semangat ukhuwah (persaudaraan). Nilai-nilai ini tidak lahir dari doktrin formal, melainkan dari praktik hidup sehari-hari di pondok: mulai dari antri mandi, belajar malam, makan bersama, hingga gotong royong menjaga kebersihan lingkungan.

Namun, bagi sebagian kalangan di luar pesantren — terutama industri hiburan — budaya seperti itu sering dilihat sebagai “unik”, “aneh”, bahkan “ketinggalan zaman”. Inilah awal mula kesalahpahaman kultural yang akhirnya terwujud dalam bentuk tayangan yang merendahkan martabat santri.

Kasus Trans7: Dari Humor Menjadi Kekeliruan Budaya

Dalam tayangan yang dipersoalkan, Trans7 menampilkan adegan komedi yang menggambarkan santri sebagai sosok lucu, polos, dan mudah dibodohi. Beberapa atribut khas pesantren — seperti sarung, peci, dan logat santri — digunakan semata untuk menimbulkan tawa penonton.

Kesalahan mendasarnya bukan pada niat menghibur, tetapi pada cara pandang yang memosisikan pesantren sebagai bahan olok-olok. Media seperti Trans7 gagal memahami bahwa bagi kalangan pesantren, atribut-atribut tersebut bukan sekadar pakaian atau gaya bicara, tetapi simbol identitas dan nilai spiritual.

Akibatnya, tayangan itu tidak hanya melukai perasaan santri, tetapi juga menciptakan persepsi publik yang keliru — seolah pesantren adalah dunia tertinggal yang hanya pantas dijadikan bahan tawa, bukan sumber kebijaksanaan dan ilmu.

Analisis Kesalahan Perspektif Trans7

Kesalahan Trans7 dapat dikategorikan dalam empat dimensi: epistemologis, hermeneutik, etis, dan komunikasi budaya.

1. Kesalahan Epistemologis – Gagal Memahami Sumber Pengetahuan Pesantren

Pesantren bukan sekadar tempat menghafal kitab, tetapi ruang pembentukan ilmu dan hikmah. Pengetahuan di pesantren bersumber dari teks klasik (turats) yang dipadukan dengan nilai kearifan lokal. Ketika media memotong konteks itu dan hanya melihat “penampilan luar”, maka yang terjadi adalah reduksi makna — dari lembaga ilmiah menjadi komedi visual.

Trans7 seharusnya memahami bahwa pesantren adalah tempat produksi ilmu dan nilai, bukan objek eksotisme budaya.

2. Kesalahan Hermeneutik – Salah Tafsir terhadap Simbol

Dalam dunia pesantren, simbol seperti sarung, kitab kuning, dan adab kepada guru memiliki makna filosofis. Ketika simbol-simbol itu ditampilkan tanpa konteks, apalagi dalam komedi yang menertawakan, maka terjadi distorsi hermeneutik. Media gagal menafsirkan simbol budaya secara benar.

Pendekatan hermeneutika menuntut pemahaman makna dari dalam, melalui dialog budaya. Namun, tayangan Trans7 justru menegaskan jarak antara media dan komunitas pesantren — memperlihatkan bahwa tidak ada proses dialog sama sekali.

3. Kesalahan Etis – Hilangnya Tanggung Jawab Moral Media

Media massa memiliki tanggung jawab etis untuk menjaga martabat kelompok sosial. Tayangan yang menghina, menstereotipkan, atau mempermainkan kelompok tertentu melanggar Kode Etik Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3SPS) yang dikeluarkan KPI. Dalam hal ini, Trans7 tidak hanya salah secara moral, tetapi juga berpotensi melanggar regulasi penyiaran nasional.

Etika penyiaran menuntut kepekaan terhadap nilai-nilai publik. Jika pesantren yang menjadi benteng moral bangsa saja dipermainkan, bagaimana publik dapat percaya bahwa media nasional masih memiliki nurani?

4. Kesalahan Komunikasi Interkultural – Arrogansi Budaya Media

Pesantren adalah subkultur Islam Nusantara dengan sistem nilai tersendiri. Dalam teori komunikasi interkultural, hubungan antara media dan subkultur harus berlandaskan empati budaya — memahami nilai kelompok lain tanpa menghakimi dengan standar sendiri. Yang dilakukan Trans7 justru kebalikannya: cultural arrogance, atau kesombongan budaya.

Media mainstream merasa berhak mendefinisikan realitas sosial dengan versinya sendiri. Akibatnya, komunitas pesantren — yang memiliki tradisi ilmiah dan spiritual kuat — digambarkan secara simplistik dan lucu.

Pesantren dalam Perspektif Sains dan Islam

Jika dilihat dari perspektif Masyarakat 5.0, pesantren justru merupakan contoh integrasi antara teknologi, pengetahuan, dan nilai moral. Kini banyak pesantren yang mengembangkan media dakwah digital, sistem pembelajaran berbasis web, bahkan mengelola start-up sosial berbasis syariah. Artinya, pesantren bukanlah “tradisional” dalam arti kolot, tetapi adaptif dengan kemajuan zaman.

Dalam perspektif Islam, menjaga kehormatan dan marwah (ḥifẓ al-‘ird) adalah bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah — tujuan syariat Islam. Ketika media menistakan komunitas religius, maka secara moral ia telah melanggar prinsip dasar Islam tentang penghormatan terhadap manusia.

Rasulullah SAW menegaskan prinsip tabayyun dalam QS. Al-Hujurat ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena kebodohanmu.”

Ayat ini menjadi peringatan bahwa dalam dunia media, setiap informasi harus diverifikasi dan disampaikan dengan tanggung jawab, bukan demi sensasi semata.

Respons Publik dan Reaksi Dunia Pesantren

Reaksi terhadap Trans7 datang dari berbagai kalangan. Para kiai, ustaz, dan alumni pesantren menyuarakan kekecewaan mereka. Banyak yang menuntut permintaan maaf terbuka dari pihak stasiun televisi, bukan hanya penghapusan tayangan.

Di sisi lain, para santri muda memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan edukasi publik. Mereka membuat konten klarifikasi, artikel, hingga video kreatif yang menjelaskan esensi sebenarnya dari kehidupan santri. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren kini tidak anti-media, tetapi justru memanfaatkan media sebagai sarana dakwah digital yang konstruktif.

Pelajaran bagi Dunia Media: Dari Boikot ke Dialog Budaya

Kasus Trans7 harus menjadi momentum refleksi bagi industri media Indonesia. Media perlu belajar memahami komunitas lokal dan nilai spiritual masyarakat. Dalam konteks ini, pesantren dapat menjadi mitra strategis media untuk menghadirkan konten yang edukatif, berkarakter, dan bermoral.

Alih-alih menjadikan pesantren sebagai bahan olok-olok, media dapat mengangkat kisah inspiratif tentang santri inovatif, pesantren digital, atau kiai yang berkontribusi terhadap masyarakat. Kolaborasi antara media dan pesantren bukan hanya akan memperkaya narasi publik, tetapi juga mengembalikan fungsi media sebagai pendidik moral bangsa.

Penutup: Dari Salah Paham Menuju Pemahaman

Kontroversi Trans7 tidak bisa dipandang sebagai kesalahan kecil. Ia adalah cermin dari krisis empati budaya di dunia media modern. Pesantren bukanlah bahan lelucon; ia adalah simbol keilmuan, moralitas, dan kemandirian bangsa. Kesalahan memahami pesantren sama artinya dengan mengabaikan salah satu pilar peradaban Islam di Indonesia.

Sudah saatnya media mainstream seperti Trans7 melakukan introspeksi dan membuka ruang dialog dengan kalangan pesantren. Dalam dialog itu, media bisa belajar tentang nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan tanggung jawab moral — hal-hal yang justru dibutuhkan di era digital yang serba cepat dan sensasional ini.

Sebagaimana pesan Al-Qur’an dalam QS. Al-Hujurat ayat 11:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik daripada mereka yang mengolok-olok.”

Ayat ini menjadi penutup yang menegaskan: media harus berhenti menertawakan yang tidak mereka pahami. Sebab, pesantren bukan masa lalu — ia adalah masa depan peradaban Islam di Indonesia.




 


Masyarakat 5.0 dan Pesantren: Meluruskan Perspektif Media

Budaya Masyarakat Pesantren dan Masyarakat 5.0 dalam Perspektif Sains dan Islam: Meluruskan Kesalahpahaman Media terhadap Dunia Santri

Oleh:
Fiqri R. G.
Mahasiswa Magister Teknik Informatika, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Pendahuluan

Perkembangan zaman membawa transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk cara berpikir, berbudaya, dan berteknologi. Saat ini dunia tengah bergerak menuju era Society 5.0, yaitu sebuah tatanan masyarakat cerdas yang berpusat pada manusia dan berbasis pada kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), big data, dan Internet of Things (IoT). Konsep ini bukan hanya sekadar kelanjutan dari Revolusi Industri 4.0, tetapi juga upaya untuk mengharmonisasikan teknologi dan kemanusiaan.

Namun, di tengah derasnya arus modernitas, budaya pesantren sebagai representasi masyarakat religius di Indonesia seringkali disalahpahami atau direduksi maknanya oleh masyarakat luas, bahkan oleh media arus utama. Salah satu contoh yang cukup ramai dibicarakan ialah bagaimana Trans7 dalam salah satu tayangan infotainment dan dokumenter dianggap menampilkan pesantren secara stereotipikal, identik dengan Feodal, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertutupan terhadap moderenitas.

Tulisan ini berusaha menganalisis secara ilmiah dan filosofis perbandingan antara budaya masyarakat pesantren dan masyarakat 5.0, dengan mengaitkannya pada perspektif sains dan Islam, serta memberikan tanggapan kritis terhadap kesalahan perspektif media dalam memahami pesantren.

1. Masyarakat Pesantren: Basis Peradaban dan Kecerdasan Spiritual

Pesantren telah menjadi lembaga pendidikan tertua di Nusantara, bahkan jauh sebelum sistem pendidikan modern diperkenalkan oleh kolonialisme. Ia lahir dari semangat tafaqquh fi al-din (pendalaman agama), namun dalam perjalanannya, pesantren juga berperan sebagai pusat penyebaran ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Budaya pesantren dibangun atas tiga pilar utama:

  1. Kiai sebagai figur sentral yang menjadi sumber ilmu dan teladan moral.
  2. Santri sebagai pencari ilmu sekaligus agen perubahan sosial.
  3. Kitab kuning sebagai sumber keilmuan yang tidak hanya mencakup fiqh, tafsir, dan hadis, tetapi juga logika (mantiq), astronomi (falak), hingga filsafat.

Dalam konteks epistemologi Islam, sistem belajar di pesantren sesungguhnya selaras dengan pendekatan sains klasik Islam. Para ulama terdahulu seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali memadukan ilmu rasional dan spiritual, mengajarkan bahwa pengetahuan sejati tidak semata rasional, melainkan juga transcendental menyatu antara akal dan hati.

Sayangnya, di mata sebagian media modern, pesantren masih dipersepsikan sebagai tempat “tradisional” yang terisolasi dari kemajuan teknologi. Tayangan seperti yang pernah disiarkan oleh Trans7, misalnya, menampilkan pesantren dalam narasi visual yang gelap dan sederhana. Ini menciptakan stereotip miskin, feodal dan terbelakang, yang jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa banyak pesantren kini justru menjadi pelopor inovasi digital berbasis nilai-nilai Islam.

2. Masyarakat 5.0: Sinergi Teknologi dan Kemanusiaan

Konsep Society 5.0 pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah Jepang sebagai visi masa depan di mana teknologi bukan hanya untuk efisiensi industri, tetapi juga untuk kebahagiaan manusia. Masyarakat 5.0 menempatkan manusia sebagai pusat inovasi, dengan teknologi berperan sebagai alat bantu dalam menciptakan kehidupan yang lebih inklusif, efisien, dan berkeadilan.

Ciri-ciri utama masyarakat 5.0 antara lain:

  • Pemanfaatan AI (Artificial Intelligence) untuk memahami kebutuhan manusia.
  • Integrasi antara dunia fisik dan dunia digital (cyber-physical system).
  • Pemanfaatan big data untuk pengambilan keputusan berbasis analisis.
  • Prinsip human-centered: teknologi harus melayani kemanusiaan, bukan sebaliknya.

Jika ditilik secara filosofis, masyarakat 5.0 sebenarnya memiliki semangat yang tidak jauh berbeda dengan Islam. Dalam Islam, manusia diposisikan sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di muka bumi) yang bertugas memakmurkan dunia tanpa merusaknya. Maka, penggunaan teknologi dalam Islam harus berorientasi pada maslahah (kebaikan) dan kemaslahatan sosial, bukan sekadar kepentingan ekonomi atau keuntungan korporasi.

Dengan demikian, Society 5.0 bukanlah ancaman bagi nilai-nilai Islam, melainkan peluang untuk membumikan etika Islam dalam ruang digital. Namun, peluang ini hanya bisa diraih apabila umat Islam mampu memadukan spiritualitas pesantren dengan kecerdasan digital.

3. Integrasi Budaya Pesantren dan Society 5.0: Sains Berbasis Akhlak

Bertolak dari dua paradigma di atas, sesungguhnya pesantren memiliki potensi besar untuk berperan aktif dalam era masyarakat 5.0. Santri masa kini tidak hanya bisa menghafal kitab kuning, tetapi juga mampu menulis kode program, mengembangkan sistem informasi, hingga membangun startup teknologi berbasis nilai-nilai Islam.

Beberapa pesantren modern seperti Pesantren Tebuireng, Gontor, dan Sidogiri telah memulai langkah menuju integrasi tersebut. Mereka mengembangkan platform digital untuk pembelajaran kitab, e-commerce halal, hingga sistem informasi keuangan berbasis syariah. Ini menunjukkan bahwa pesantren tidak anti terhadap sains dan teknologi, melainkan justru berusaha mengislamisasikan sains agar tetap berakar pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan.

Dalam kerangka epistemologi Islam, sains tidak bisa dipisahkan dari akhlak. Sains tanpa akhlak akan melahirkan dehumanisasi manusia kehilangan arah karena tunduk pada mesin. Inilah kritik utama terhadap modernitas sekuler yang hanya menuhankan logika dan efisiensi. Pesantren justru menawarkan model masyarakat alternatif: masyarakat berilmu sekaligus berakhlak.

Oleh karena itu, integrasi pesantren dan masyarakat 5.0 harus diarahkan pada tiga ranah utama:

  1. Penguatan literasi digital santri agar mampu beradaptasi dengan teknologi.
  2. Pembangunan ekosistem riset dan inovasi pesantren yang berakar pada nilai Islam.
  3. Penerapan etika teknologi Islam untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan.

4. Kritik terhadap Perspektif Media (Kasus Trans7, Stereotip, dan Imaji Feodal Pesantren)

Media massa memiliki peran penting dalam membentuk persepsi publik tentang realitas sosial. Namun, sering kali media justru memperkuat bias budaya, kelas sosial, dan sudut pandang modernis-sekuler yang menilai tradisi lokal dari kacamata luar. Tayangan Trans7 yang menggambarkan kehidupan pesantren dengan narasi “kemiskinan dan keterbelakangan” merupakan contoh nyata dari apa yang dapat disebut sebagai orientalisme domestic yakni cara pandang yang menilai budaya pesantren bukan dari nilai-nilai internalnya, tetapi dari standar modernitas materialistik.

Lebih jauh lagi, tayangan tersebut juga mencerminkan pola feodalisme simbolik yang keliru dalam memahami relasi sosial di pesantren. Dalam tayangan itu, sering ditampilkan kontras visual antara kiai yang tampak kaya dan berpengaruh dengan santri yang sederhana dan serba terbatas. Pola narasi ini tanpa disadari memperkuat citra hierarki sosial yang timpang seolah pesantren adalah sistem sosial feodal di mana kiai menjadi “tuan” dan santri hanya “pengikut” yang tunduk tanpa daya.

Padahal, pandangan semacam itu sangat menyederhanakan realitas kompleks pesantren. Dalam tradisi Islam, posisi kiai dan santri bukanlah relasi feodal berbasis kekayaan, tetapi relasi epistemik dan spiritual: kiai berperan sebagai guru dan pembimbing moral, sementara santri adalah penuntut ilmu yang menghormati gurunya karena keilmuannya, bukan karena status sosial atau ekonomi. Relasi ini bersifat simbiotik, bukan subordinatif. Bahkan banyak pesantren besar yang justru hidup dalam kesederhanaan, di mana kiai dan santri sama-sama meneladani zuhud, yaitu menjauh dari kemewahan dunia demi kemurnian ilmu dan pengabdian kepada Allah.

Kesalahan utama perspektif Trans7 adalah gagal memahami pesantren sebagai ekosistem ilmu, nilai, dan peradaban spiritual. Alih-alih menyoroti potensi intelektual, kreativitas santri, dan inovasi pendidikan berbasis teknologi yang kini berkembang di banyak pesantren, media justru menonjolkan aspek visual “kesederhanaan fisik”: bangunan kayu, sandal jepit, dan ruang belajar yang sederhana. Narasi visual semacam ini kemudian diperparah dengan kontras antara kiai “bermobil” dan santri “berjalan kaki”, menciptakan imaji seolah-olah pesantren adalah miniatur sistem feodal di tengah masyarakat modern.

Padahal, dalam filsafat sains Islam, pengetahuan dan kemuliaan seseorang tidak diukur dari status ekonomi atau penampilan fisik, melainkan dari kualitas akal dan akhlak. Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Mujadalah: 11), Allah menegaskan bahwa derajat manusia diukur dari ilmu dan keimanan, bukan dari kekayaan. Dengan demikian, kesederhanaan hidup santri bukanlah simbol kemiskinan, tetapi simbol kesadaran epistemologis bahwa ilmu adalah cahaya yang tidak memerlukan kemewahan untuk bercahaya.

Selain itu, pandangan media yang memisahkan antara kiai kaya dan santri miskin juga gagal membaca struktur ekonomi pesantren yang bersifat kolektif dan partisipatif. Banyak pesantren modern kini mengembangkan kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) yang hasilnya digunakan untuk pembiayaan pendidikan santri yatim dan dhuafa. Kiai yang memiliki akses ekonomi bukan sedang mempraktikkan feodalisme, tetapi justru menunaikan tanggung jawab sosialnya dalam bentuk ekonomi berbasis wakaf dan kemandirian umat. Sayangnya, dimensi inilah yang luput dari sorotan media karena tidak sejalan dengan selera dramatik dan narasi visual populer yang mereka bangun.

Oleh sebab itu, media seperti Trans7 seharusnya melakukan dekonstruksi cara pandang terhadap pesantren, dengan berpindah dari narasi visual yang dangkal menuju pendekatan kultural dan intelektual. Pesantren perlu ditampilkan sebagai ruang intelektual alternatif bukan sekadar dunia tradisional atau komunitas feodal, tetapi pusat produksi ilmu, etika, dan inovasi sosial.

Di tengah masyarakat 5.0, di mana teknologi sering kali menimbulkan krisis moral, pesantren justru hadir sebagai penyeimbang nilai yang memadukan antara kecerdasan spiritual dan kemajuan sains. Maka, alih-alih memperkuat stereotip “santri miskin dan kiai kaya”, media mestinya menyoroti simbol keseimbangan antara ilmu dan iman, yang merupakan inti dari peradaban Islam itu sendiri.

5. Sains, Islam, dan Tantangan Etika Digital: Jalan Tengah bagi Pesantren dan Masyarakat 5.0

Masyarakat 5.0 lahir dari kesadaran baru bahwa teknologi harus berpusat pada manusia (human-centered technology). Namun, kemajuan digital tidak selalu seiring dengan kemajuan moral. Dalam dunia yang dipenuhi big data, artificial intelligence, dan algoritma yang dapat mengendalikan perilaku sosial, muncul risiko dehumanisasi manusia kehilangan kendali atas teknologi yang diciptakannya sendiri. Di sinilah Islam dan budaya pesantren dapat memberikan sumbangan penting bagi arah perkembangan sains modern.

Islam, sejak awal, menempatkan ilmu sebagai jalan menuju kemaslahatan, bukan sekadar alat produksi. Dalam filsafat sains Islam, ilmu selalu dikaitkan dengan nilai-nilai etis (akhlaqiyyah). Nabi Muhammad menegaskan bahwa “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Artinya, kemajuan teknologi dalam perspektif Islam tidak boleh berhenti pada capaian teknis, tetapi harus bermuara pada nilai manfaat, keadilan, dan kemaslahatan umat.

Budaya pesantren sebenarnya telah lama mengajarkan etika epistemik yang sangat relevan dengan dunia digital modern:

  • Ikhlas dalam mencari dan menyebarkan ilmu;
  • Amanah dalam menjaga data dan informasi;
  • Tabayyun dalam memverifikasi kebenaran berita;
  • Tawadhu’ dalam menghadapi perkembangan teknologi dan pengetahuan baru.

Nilai-nilai tersebut, jika diinternalisasi dalam masyarakat digital, akan membentuk etika sains Islam, yaitu sains yang beradab. Konsep ini penting untuk mengoreksi arah masyarakat 5.0 yang rawan menjadi “teknokratis” menilai segalanya dari aspek data dan efisiensi, namun melupakan sisi spiritual dan moralitas manusia.

Dalam konteks pesantren, penerapan teknologi harus disertai kesadaran spiritual. Ketika santri memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memudahkan proses belajar kitab, atau menggunakan sistem informasi untuk manajemen lembaga, hal itu bukan semata modernisasi, tetapi bagian dari amal saleh ilmiah yakni mengabdi kepada Allah melalui inovasi.

Sebaliknya, teknologi tanpa panduan etika Islam akan mudah menjadi instrumen dominasi atau ketimpangan sosial. Kita melihat banyak contoh: algoritma media sosial yang memperkuat polarisasi, eksploitasi data pribadi, hingga penyebaran fitnah digital. Maka, etika pesantren dapat berfungsi sebagai benteng moral dalam menghadapi era Society 5.0.

Di sinilah titik temu antara sains modern dan budaya pesantren: keduanya sama-sama menekankan pencarian kebenaran, tetapi pesantren menambahkan ruh spiritual dan tanggung jawab moral yang sering hilang dalam pendekatan sains sekuler. Pesantren bisa menjadi laboratorium sosial untuk melahirkan ilmuwan Muslim berakhlak digital, yakni manusia yang tidak hanya mahir menguasai teknologi, tetapi juga memahami tanggung jawab etikanya di hadapan Tuhan dan sesama.

Kesimpulan

Budaya masyarakat pesantren dan masyarakat 5.0 sebenarnya tidak saling bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi. Masyarakat pesantren menekankan dimensi spiritual, moral, dan kebersamaan; sementara masyarakat 5.0 membawa semangat rasionalitas, efisiensi, dan inovasi teknologi. Jika keduanya dikawinkan secara bijak, akan lahir tatanan sosial baru yang berbasis ilmu, beretika, dan berkeadilan.

Kesalahan media, seperti yang ditunjukkan dalam tayangan Trans7, muncul karena melihat pesantren dari luar dengan kacamata materialistik dan feudal tanpa memahami nilai-nilai epistemik dan spiritual yang hidup di dalamnya. Pesantren bukan sekadar ruang pendidikan tradisional atau sistem hierarki antara “kiai kaya” dan “santri miskin”, melainkan ekosistem ilmu dan akhlak yang justru menjadi model ideal bagi era digital yang kehilangan arah moral.

Dalam konteks sains dan Islam, pesantren dapat menjadi poros peradaban baru yang menjembatani spiritualitas dan teknologi. Dengan memperkuat literasi digital berbasis etika Islam, pesantren dapat melahirkan generasi santri yang melek sains sekaligus berjiwa khalifah pemimpin yang mampu menggunakan teknologi untuk kemaslahatan manusia.

Sebagai mahasiswa S2 Teknik Informatika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, penulis meyakini bahwa masa depan umat Islam tidak ditentukan oleh seberapa cepat kita mengejar teknologi Barat, tetapi oleh seberapa dalam kita menanamkan nilai-nilai Islam dalam teknologi. Society 5.0 harus menjadi Society taqwa, di mana kecerdasan buatan dikendalikan oleh kecerdasan spiritual.

Dengan demikian, pesantren bukanlah simbol masa lalu, melainkan peta jalan masa depan tempat di mana sains dan iman berdialog, akal dan akhlak menyatu, serta manusia menemukan kembali makna sejati kemajuan.




 


PMB AMIK Taruna Gelombang 3 Tahun Akademik 2025/2026 Resmi Dibuka!

 

AMIK Taruna kembali membuka kesempatan emas bagi calon mahasiswa baru yang ingin melanjutkan pendidikan di bidang teknologi dan informatika. Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) Gelombang 3 untuk Tahun Akademik 2025/2026 resmi dibuka mulai tanggal 31 Juli 2025 hingga  26 Agustus 2025.

Mengapa Memilih AMIK Taruna?

Sebagai salah satu institusi pendidikan vokasi yang telah berpengalaman, AMIK Taruna berkomitmen mencetak lulusan yang kompeten, berkarakter, dan siap kerja. Dengan kurikulum berbasis industri dan fasilitas pendukung yang lengkap, mahasiswa dibekali dengan keahlian praktis yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja saat ini.

Program Studi Unggulan

AMIK Taruna menawarkan program studi unggulan di bidang:

  • Sistem Informasi

  • Sistem Informasi Akuntansi

  • Teknologi Informasi

Program-program ini dirancang untuk menjawab tantangan perkembangan teknologi dan digitalisasi di era industri 4.0.

Jadwal dan Alur Pendaftaran

📅 Periode Pendaftaran Gelombang 3:
31 Juli 2025 - 26 Agustus 2025

📝 Cara Pendaftaran:

  1. Kunjungi website resmi PMB AMIK Taruna: [PMB 2025]

  2. Isi formulir pendaftaran online.

  3. Unggah dokumen yang dibutuhkan.

  4. Ikuti proses seleksi sesuai jadwal yang ditentukan.

Calon mahasiswa juga dapat melakukan pendaftaran langsung di kampus AMIK Taruna selama jam kerja.

Informasi & Kontak

📍 Kampus AMIK Taruna
Jl. Raya Leces No.A3, Kolla, Leces, Kec. Leces, Kabupaten Probolinggo
📞 Telp/WA: (0335) 681497
🌐 Website: https://amik-taruna.ac.id/
📧 Email: amik.taruna.probolinggo@gmail.com


Jangan lewatkan kesempatan ini! Raih masa depan cerah bersama AMIK Taruna. Segera daftarkan diri Anda dan jadilah bagian dari generasi muda yang siap bersaing di era digital!


Sekolah Taruna Dra. Zulaeha Rayakan Ulang Tahun ke-52

Sekolah Taruna Dra. Zulaeha Rayakan Ulang Tahun ke-52 dengan Semangat Baru dalam Dunia Pendidikan

Probolinggo, 2 Januari 2025 – Sekolah Taruna Dra. Zulaeha merayakan hari ulang tahunnya yang ke-52 dengan penuh suka cita. Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang telah berkiprah lebih dari lima dekade, sekolah ini tetap menunjukkan komitmennya dalam mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berkarakter. Acara perayaan yang digelar di halaman sekolah pada pagi hari dihadiri oleh seluruh civitas akademika, serta tamu undangan dari berbagai pihak yang mendukung perjalanan panjang sekolah ini.

Sejarah dan Perkembangan Sekolah Taruna Dra. Zulaeha

Sekolah Dra. Zulaeha didirikan pada 2 Januari 1973 oleh Dra. Zulaeha, seorang pendidik yang memiliki visi dan misi untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas dan berbasis karakter. Dalam 52 tahun perjalanannya, sekolah ini telah mengalami banyak perkembangan, mulai dari peningkatan fasilitas, kurikulum yang semakin inovatif, hingga prestasi-prestasi gemilang yang diraih oleh para siswanya di berbagai bidang. Sekolah yang awalnya hanya terdiri dari TK, SD, SMP dan SMA yang pada awalnya diprioritaskan untuk anak-anak karyawan PT Kertas Leces telah berkembang menjadi lembaga pendidikan dengan fasilitas yang modern dan lengkap dan pada akhirnya pada tahun 2001 Sekolah Taruna Dra Zulaeha mendirikan Perguruan Tinggi yaitu Akademi Manajemen Informatika Dan Komputer (AMIK) Taruna Probolinggo dengan 3 program studi yaitu D III Sistem Informasi, D III Sistem Informasi Akuntansi dan D III Teknologi Informasi.  Tidak hanya dikenal dengan kualitas pengajaran, Sekolah Taruna Dra. Zulaeha juga terkenal dengan pendekatan pendidikan yang holistik, yang tidak hanya menekankan pada aspek akademis, tetapi juga pada pengembangan teknologi, karakter, kreativitas, dan kepedulian sosial siswa dan mahasiswa.

Pencapaian dan Prestasi

Dalam usia yang sudah lebih dari setengah abad, Sekolah Taruna Dra. Zulaeha berhasil membuktikan diri sebagai salah satu sekolah unggulan yang tidak hanya fokus pada prestasi akademik, tetapi juga pada pengembangan karakter siswa dan mahasiswa. Beberapa prestasi terbaru yang diraih oleh siswa Sekolah Dra. Zulaeha di antaranya adalah juara lomba sains tingkat propinsi dan nasional, dan penghargaan atas program-program pengabdian masyarakat yang melibatkan siswa dan mahasiswa dalam berbagai kegiatan sosial. AMIK Taruna sebagai lembaga pendididikan vokasi telah banyak melahirkan alumni-alumni yang memiliki keterampilan di bidang teknologi informasi dan di terima di dunia industri serta instansi baik di tingkat lokal, regional dan nasional. Selain itu, AMIK Taruna yang merupakan bagian dari sekolah Dra. Zulaeha juga berhasil memperluas jangkauannya dengan membangun kemitraan dengan berbagai lembaga / instansi dan dunia industri, sebagai upaya dalam meningkatkan dan mengembangkan kegiatan Tri Dharma perguruan tinggi baik oleh dosen maupun mahasiswa.

Komitmen dalam Pendidikan Berkualitas

Ketua YPKK, Drs. Satriyo Hidayat, AK; dalam sambutannya mengungkapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan dalam perjalanan panjang sekolah ini. Ia juga menegaskan komitmen Sekolah Dra. Zulaeha untuk terus berinovasi dalam dunia pendidikan.

“Pendidikan bukan hanya soal mengajar, tetapi tentang membentuk karakter dan memberikan bekal bagi siswa dan mahasiswa untuk menghadapi tantangan di masa depan. Pada ulang tahun yang ke-52 ini, kami berkomitmen untuk terus memberikan yang terbaik bagi anak-anak bangsa, membekali mereka dengan ilmu, keterampilan, dan karakter yang kuat,” ujar Drs. Satriyo Hidayat, AK.

Acara Perayaan dan Rangkaian Kegiatan

Perayaan ulang tahun ke-52 Sekolah Dra. Zulaeha diwarnai dengan berbagai kegiatan yang melibatkan seluruh siswa, mahasiswa, guru, dan dosen. Acara diawali dengan upacara bendera yang diikuti oleh seluruh civitas akademika, dilanjutkan dengan ramah-tama dan hiburan. Tak ketinggalan, acara puncak diisi dengan pemberian penghargaan kepada guru dan karyawan yang memilki dedikasi dan pengabdian selama 20 Th diantaranya Ibu Indri Yatiningsih, SE. dari AMIK Taruna.

Harapan untuk Masa Depan

Dengan usia yang terus bertambah, Sekolah Taruna Dra. Zulaeha memiliki harapan besar untuk terus menjadi salah satu pelopor pendidikan yang berkualitas di Indonesia. Seiring dengan perubahan zaman, sekolah ini berkomitmen untuk terus beradaptasi dengan teknologi dan metode pengajaran terbaru, memastikan bahwa setiap siswa dan mahasiswa yang lulus dari Sekolah Taruna Dra. Zulaeha memiliki kompetensi dan karakter yang dapat bersaing di dunia global.

“Selama 52 tahun ini, kami telah banyak belajar dan tumbuh bersama. Harapan kami ke depan adalah semakin banyak siswa dan mahasiswa yang dapat merasakan manfaat dari pendidikan yang kami tawarkan, dan terus berkontribusi dalam memajukan dunia pendidikan di Indonesia,” tutup Drs. Satriyo Hidayat, AK.

Dengan semangat dan dedikasi yang terus terjaga, Sekolah Taruna Dra. Zulaeha siap menyongsong perjalanan panjang menuju masa depan yang lebih cemerlang dalam dunia pendidikan.


BEM AMIK Taruna Gelar “Penguatan Organisasi Kemahasiswaan”

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) AMIK Taruna Gelar “Penguatan Organisasi Kemahasiswaan” untuk Tingkatkan Keterampilan Mahasiswa Dalam Berorganisasi

Probolinggo, 5 Januari 2025 – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) AMIK Taruna periode 2024-2025 menggelar kegiatan Penguatan Organisasi Kemahasiswaan pada 5 Januari 2025 di Sekretariat BEM AMIK Taruna yang bermarkas di Jl Raya Leces A3 Leces Probolinggo. Kegiatan ini diikuti oleh pengurus dan anggota BEM yang ingin mengasah keterampilan dan pengetahuan mereka dalam berorganisasi khususnya dalam meningkatkan komunikasi dan kerjasama tim dalam berorganisasi.

Kegiatan yang berlangsung selama satu hari penuh ini menghadirkan berbagai materi yang bermanfaat bagi pengembangan keterampilan mahasiswa/pengurus dan anggota BEM. Tema utama dari penguatan ini adalah peningkatan soft skills dan hard skills, dengan fokus pada kemampuan komunikasi, kepemimpinan dalam berorganisasi. Selain itu, kegiatan ini juga memberikan kesempatan kepada peserta untuk berdiskusi sebagai media belajar bersama dalam berorganisasi. Ketua pelaksana kegiatan ini Faruk (Pres-BEM AMIK Taruna), yang juga merupakan salah satu penggagas kegiatan, mengungkapkan bahwa tujuan utama dari kegiatan ini adalah memberikan bekal yang lebih untuk pengurus dan anggota BEM periode 2024/2025 agar siap dalam berorganisasi juga memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam mengelolah organisasi internal BEM AMIK Taruna.

Peserta kegiatan ini tidak hanya mendapatkan materi teori, tetapi juga kesempatan untuk berlatih dan mengasah keterampilan melalui sesi-sesi simulasi dan diskusi. Salah satu peserta, Yovan (Wakil Pres-BEM) sangat antusias mengikuti kegiatan ini, sangat bermanfaat karena selain menambah pengetahuan, pengalaman, saya juga bisa belajar tentang pentingnya soft skills, seperti komunikasi yang efektif dan cara memimpin tim," ujarnya.

Kegiatan penguatan organisasi internal mahasiswa (BEM periode 2024-2025) ini juga disambut baik oleh pihak kampus AMIK Taruna, yang terus mendukung kegiatan-kegiatan yang dapat membantu mahasiswa dalam mengembangkan keterampilan dalam berorganisasi. Dengan adanya kegiatan ini, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dapat berperan dalam membangun atmosfer akademik di AMIK Taruna melalui  penciptaan lingkungan belajar yang kondusif; fasilitasi kegiatan yang mendorong inovasi dan kreativitas mahasiswa; menjadi jembatan komunikasi antara mahasiswa dan pihak akademik; dan kegiatan positif lainnya yang mendukung pencapaian visi dan misi AMIK Taruna, ujar Dwi Yanto, M.Kom (Wadir III Kemahasiswaan dan Alumni)

Diharapkan kegiatan penguatan ataupun pelatihan ini dapat menjadi agenda rutin yang diadakan oleh BEM AMIK Taruna dan kampus, memberikan dampak positif bagi seluruh mahasiswa dan memperkuat kapasitas mereka sebagai calon profesional yang kompeten di bidangnya.


​​​​​​​OPEN RECRUITMENT Tenaga Pengajar

OPEN RECRUITMENT
Tenaga Pengajar Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Taruna

Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Taruna membuka kesempatan bagi Anda yang memiliki komitmen tinggi untuk berkontribusi dalam dunia pendidikan. Kami membutuhkan tenaga pengajar dengan kualifikasi dan persyaratan sebagai berikut:


OPEN RECRUITMENT Tenaga Pengajar


Unit Kerja Sama AMIK Taruna Probolinggo dengan DPRD Kota Probolinggo

Probolinggo, 24 Desember 2024 – Unit Kerja Sama AMIK Taruna Probolinggo; menjalin kerja sama dengan DPRD Kota Probolinggo. Dwi Yanto, M.Kom selaku Wadir III merangkap Ketua Unit Kerjasama AMIK  diterima langsung oleh Ibu Santi Wilujeng sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Probolinggo pada hari Senin, 23 Desember 2024 di ruang wakil ketua DPRD. Kerja sama ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antara perguruan tinggi AMIK Taruna dan lembaga legeslatif yang menjadi perwakilan dalam mengakomodir kebutuhan di masyarakat.Yang menjadi agenda pembicaraan awal adalah terkait dengan program pemerintah daerah kota probolinggo yaitu “Satu Keluarga Satu Sarjana” dilanjutkan dengan pembicaraan program MBKM AMIK Taruna dan kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

Menurut Dwi Yanto, M.Kom, AMIK Taruna sebagai perguruan tinggi vokasi yang dekat dengan masyarakat kota Probolinggo akan secara terus menerus berkuntribusi dalam menyiapkan sumber daya manusia khususnya yang memiliki kompetensi di bidang Teknbologi Informasi. Juga disampaikan bahwa masyarakat kota Probolinggo yang berkeinginan meningkatkan kompetensi di bidang Teknologi Informasi, AMIK Taruna siap membantu dengan memberikan biaya siswa (0 Rupiah) kepada siswa-siswi berprestasi dan kurang mampu secara ekonomi dari kota Probolinggo. Dijelaskan juga bahwa AMIK Taruna telah melakukan kegiatan-kegiatan dengan beberapa OPD di kota Probolinggo seperti kegiatan pelatihan, lokakarya juga penempatan mahasiswa magang seperti dengan Dinas Perindustrian Dan Tenaga Kerja, Dinas Komunikasi dan Informatika, Dinas Koperasi Perdagangan Dan UMKM, Kecamatan dan Kelurahan Se-Kota Probolinggo dan Dunia Industri di Kota Probolinggo.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD kota Probolinggo Ibu Santi Wilujeng menyampaikan harapan besar bahwa kolaborasi ini bisa dilanjutkan dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat kota Probolinggo khususnya dalam meningkatkan SDM di bidang Teknologi Informasi melalui program “Satu Keluarga Satu Sarjana” serta program-program kegiatan Tridharma yang dilaksanakan oleh Civitas akedemika AMIK Taruna Probolinggo dapat membantu pemerintah kota Probolinggo. Mewakili lembaga legestatif dan masyarakat kota Probolinggo Ibu Santi Wilujeng siap mendukung kegiatan dan program-program yang akan dilakukan oleh AMIK Taruna Probolinggo.

Pertemuan ini diharapkan menjadi langkah awal yang strategis dalam menciptakan kolaborasi yang saling menguntungkan, serta mendukung visi misi AMIK Taruna Probolinggo dan  pemerintah daerah kota Probolinggo dalam mendorong peningkatan SDM khususnya di bidang Teknologi Informasi dan penyediaan tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja di kota Probolinggo.

 

Warta AMIK Des’24